Suaraindo.com – Penemuan kuburan massal di Suriah kembali mengungkap sisi kelam pemerintahan mantan Presiden Bashar Al-Assad, yang memerintah selama 24 tahun. Diperkirakan lebih dari 100.000 orang telah disiksa hingga tewas sejak 2013, menurut jaksa kejahatan perang internasional Stephen Rapp.
“Kami memiliki lebih dari 100.000 orang yang hilang dan disiksa sampai mati dalam mesin ini,” ujar Rapp, membandingkan situasi tersebut dengan kekejaman era Nazi, dikutip dari Reuters, Rabu (18/12/2024).
Dua lokasi utama, yakni Qutayfah dan Najha, menjadi fokus perhatian. Di Qutayfah, sebuah bekas pangkalan militer, diperkirakan terdapat lebih dari 100.000 mayat. Di Najha, warga sekitar melaporkan keberadaan truk pendingin yang secara rutin membawa mayat untuk dikubur di parit-parit panjang.
Menurut Komisi Internasional untuk Orang Hilang, terdapat 66 lokasi kuburan massal yang belum diverifikasi di Suriah. Hingga kini, 157.000 orang dilaporkan hilang, jumlah yang jauh lebih besar dibanding konflik Balkan pada 1990-an.
Kesaksian seorang mantan penggali kubur yang melarikan diri ke Eropa mengungkap skala sistematis kekejaman ini. Ia bersaksi bahwa truk-truk pendingin membawa 300 hingga 600 mayat setiap minggu dari rumah sakit militer di sekitar Damaskus, seperti Tishreen dan Mezzeh, ke lokasi kuburan massal. Mayat-mayat tersebut dimasukkan ke dalam parit besar yang kemudian ditutup oleh alat berat.
“Truk itu datang dua hingga tiga kali seminggu, membawa mayat korban penyiksaan, kelaparan, dan eksekusi,” ungkap penggali kubur dalam sidang Kongres AS.
Citra satelit yang dianalisis oleh Maxar Technologies menunjukkan aktivitas penggalian intensif antara 2012 hingga 2022 di lokasi-lokasi tersebut. Parit-parit besar dan alat berat terlihat dalam sejumlah foto satelit.
Kelompok hak asasi manusia dan pengadilan internasional mengecam keras temuan ini, menyebutnya sebagai bukti nyata kejahatan perang. Kepala organisasi advokasi Suriah, Mouaz Moustafa, menyebut bahwa kekejaman ini adalah bagian dari “mesin kematian” yang dijalankan negara.
“Ini adalah sistem teror negara, di mana ribuan orang bekerja untuk menyembunyikan mayat dan menciptakan ketakutan,” tambah Rapp.
Bagi keluarga korban, perjalanan mencari keadilan dan kebenaran masih panjang. Kathryne Bomberger dari Komisi Internasional untuk Orang Hilang menekankan pentingnya pencocokan DNA, meskipun proses ini membutuhkan waktu yang lama dan melibatkan sampel dari kerangka di kuburan massal.
“Ini bukan hanya tragedi bagi Suriah, tetapi juga bagi kemanusiaan,” ujarnya.
Penemuan ini menjadi pengingat akan dampak dahsyat perang dan otoritarianisme terhadap kehidupan manusia, serta kebutuhan mendesak untuk akuntabilitas dan keadilan di Suriah.