Suaraindo.com – Konflik dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) semakin memanas. Kali ini, China meluncurkan penyelidikan terhadap Nvidia, salah satu raksasa chip asal AS, atas dugaan pelanggaran hukum anti-monopoli di negara tersebut.
Langkah ini terjadi setelah Washington memperketat pembatasan pada industri semikonduktor China, termasuk melarang ekspor teknologi chip ke lebih dari 140 perusahaan.
Meski belum dijelaskan secara detail, Nvidia diduga melanggar komitmen yang dibuat saat mengakuisisi firma chip asal Israel, Mellanox Technologies, pada 2020. Juru bicara Nvidia menyatakan komitmen perusahaan untuk patuh terhadap hukum di setiap negara tempat mereka beroperasi.
“Kami menghormati komitmen yang kami buat di negara mana pun. Kami dengan senang hati menjawab berbagai pertanyaan dari regulator terkait bisnis kami,” ujar perwakilan Nvidia, dikutip dari Reuters, Selasa (10/12/2024).
China juga telah mengambil langkah pembalasan terhadap AS dengan memblokir ekspor beberapa mineral penting seperti gallium, germanium, dan antimon. Selain itu, asosiasi industri di China mengimbau perusahaan domestik untuk berhati-hati membeli chip dari AS demi menjaga keamanan nasional.
Nvidia menjadi salah satu perusahaan yang terkena dampak langsung dari ketegangan ini. Sebelumnya, AS melarang Nvidia menjual chip AI tercanggih ke China, sehingga perusahaan harus membuat versi khusus untuk pasar tersebut. Meski begitu, pangsa pasar Nvidia di China turun menjadi 17% pada awal 2024, dari sebelumnya 25% dua tahun lalu.
Menurut Bob O’Donnell, chief analyst dari TECHnalysis Research, “China mencoba bereaksi melawan pelarangan dari AS, namun dampaknya terhadap industri semikonduktor AS kemungkinan akan berkurang seiring waktu.”
China terakhir kali melakukan penyelidikan anti-monopoli terhadap raksasa teknologi asing pada 2013, yaitu terhadap Qualcomm. Saat itu, Qualcomm didenda sebesar US$975 juta karena diduga menyalahgunakan posisi dominannya di pasar.
Tindakan terbaru ini menandai babak baru dalam perang dagang yang sedang berlangsung antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, dengan sektor semikonduktor sebagai pusat konflik. Hal ini juga menandakan bahwa industri chip global kemungkinan akan terus menghadapi tantangan geopolitik dalam waktu dekat.