Suaraindo.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024 mencatatkan angka golput tertinggi sepanjang sejarah. Sebanyak 42 persen warga Jakarta yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) memilih untuk tidak menggunakan hak suara mereka. Fenomena ini menimbulkan berbagai spekulasi terkait penyebab dan dampaknya terhadap demokrasi.
Ketua KPUD Jakarta, Wahyu Dinata, mengungkapkan bahwa partisipasi pemilih kali ini hanya mencapai sekitar 58 persen, jauh lebih rendah dibandingkan Pilkada 2017 yang mencatatkan angka 78 persen. Selain itu, terdapat 8,6 persen surat suara yang dinyatakan tidak sah akibat gerakan “coblos semua,” sebuah bentuk protes yang terorganisir.
John Muhammad, inisiator Gerakan Politik Salam 4 Jari, menilai tingginya angka golput merupakan bentuk penghukuman warga terhadap elite politik. Menurutnya, warga kecewa dengan pasangan calon yang dianggap tidak mencerminkan aspirasi publik. Lebih dari 412 ribu suara tidak sah menunjukkan keresahan ini, bahkan lebih banyak dibandingkan suara salah satu pasangan calon.
“Rakyat kritis sedang mengeluh karena pasangan calon yang tersedia tidak menarik dan proses Pilkada terindikasi akal-akalan,” ujar John.
Pandangan ini didukung oleh Efriza, pengamat politik dari Citra Institute, yang menyebutkan beberapa alasan penurunan partisipasi. Faktor-faktor tersebut meliputi ketiadaan tokoh kuat seperti Anies Baswedan, tuduhan permainan politik, dan calon-calon yang tidak mampu merepresentasikan kebutuhan masyarakat.
Fenomena golput juga dianggap sebagai tanda apatisme politik. Wakil Ketua Komisi III DPR, Dede Yusuf, menyebut salah satu penyebab rendahnya partisipasi adalah minimnya daya tarik kandidat. “Calon-calon yang ada seperti pertandingan sepak bola tanpa tim besar; masyarakat tidak antusias untuk menonton, apalagi terlibat,” ujarnya.
Selain itu, pelaksanaan Pilkada yang berdekatan dengan Pemilu dan Pilpres 2024 juga dianggap memengaruhi semangat warga untuk datang ke TPS. Kondisi ini menimbulkan kelelahan politik baik bagi pemilih maupun partai politik.
Tingginya angka golput seharusnya menjadi bahan introspeksi. Partai politik perlu menghadirkan calon pemimpin yang mampu menjawab kebutuhan rakyat, bukan sekadar mewakili kepentingan elite. Sosialisasi pemilu juga perlu diperbaiki, memastikan warga memahami pentingnya setiap suara dalam menentukan arah pemerintahan.
Lebih jauh, pengamat menyoroti perlunya reformasi dalam sistem politik. Transparansi, pemberantasan korupsi, dan memberikan ruang bagi tokoh baru adalah beberapa langkah konkret yang perlu dilakukan. Tanpa perubahan, angka golput hanya akan meningkat, mencerminkan kekecewaan yang semakin mendalam terhadap demokrasi Indonesia.