Suaraindo.com – Kontroversi pembatalan pameran lukisan karya seniman Yogyakarta, Yos Suprapto, di Galeri Nasional Indonesia terus menuai perhatian. Karya-karya Yos yang sempat digantung di galeri pada 13 Desember 2024 akhirnya batal dipamerkan. Penundaan ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk para pengamat seni dan aktivis hak asasi manusia, yang menilai keputusan tersebut sebagai ancaman bagi kebebasan berekspresi.
Menurut Bambang Bujono, kritikus seni dan teman dekat Yos, seluruh lukisan telah dinilai kurator sebelum dipasang di Galeri Nasional. Namun, pada 16 Desember, kurator Suwarno Wisetrotomo mengungkapkan keberatan terhadap dua karya yang dianggap terlalu vulgar dan tidak sesuai tema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan.” Suwarno menyebut karya tersebut kehilangan elemen metafora yang esensial dalam seni.
Sebaliknya, Bambang membantah dugaan bahwa Yos menyelundupkan karya yang tidak terkurasi. “Kurator telah melihat semua karya di Yogyakarta sebelum dikirim ke Jakarta,” ujarnya.
Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, menilai pembatalan pameran ini berkaitan dengan tema yang diangkat Yos, yakni tanah dan kedaulatan pangan merupakan isu sensitif dalam dinamika politik Indonesia. Ia menegaskan bahwa seni merupakan medium penting untuk menyuarakan keresahan publik dan pembatalan ini menandai bahaya bagi kebebasan berekspresi.
Dalam pernyataan resminya, Galeri Nasional menyebut pembatalan ini disebabkan oleh kendala teknis. Mereka meminta maaf atas penundaan tersebut dan berjanji berdialog dengan Yos untuk mencari solusi terbaik. Namun, alasan ini dianggap tidak transparan oleh sejumlah pihak yang mempertanyakan proses pengambilan keputusan mendadak tersebut.
Kasus ini memicu diskusi lebih luas tentang posisi seni dalam menyampaikan kritik sosial. Dengan latar belakang isu yang diangkat Yos, pembatalan ini dinilai oleh banyak pihak sebagai tekanan terhadap seniman untuk menyesuaikan karyanya dengan standar tertentu, yang berpotensi membatasi ruang berekspresi di Indonesia.
Perdebatan ini tidak hanya menjadi refleksi bagi dunia seni, tetapi juga mencerminkan dinamika kebebasan berekspresi di tengah perubahan lanskap politik dan sosial di Indonesia.