Suaraindo.com – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyampaikan ada beberapa upaya yang bisa dilakukan penyelenggara fintech peer to peer (P2P) lending untuk mengetatkan keamanan digital dan memitigasi risiko fraud.
Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023, Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) harus menyediakan kebijakan dan prosedur tertulis sistem informasi pengelolaan fraud.
Sekretaris Jenderal AFPI Tiar Karbala mengatakan fintech lending sebagai Lembaga Jasa Keuangan juga harus memiliki upaya dalam mencegah risiko fraud.
Dia menyampaikan ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh penyelenggara fintech lending untuk mengetatkan keamanan digital dan memitigasi risiko fraud. Beberapa upaya tersebut, yakni mengimplementasikan teknologi keamanan tinggi, seperti enkripsi data dan deteksi ancaman, untuk melindungi sistem dan data nasabah.
“Melakukan audit keamanan secara reguler untuk mengidentifikasi dan mengatasi potensi celah keamanan. Selain itu, menerapkan verifikasi identitas yang kuat, termasuk penggunaan otentikasi dua faktor, untuk memastikan bahwa hanya pemilik akun yang dapat mengakses informasi dan melakukan transaksi.”
Upaya lainnya, memberikan pelatihan keamanan kepada karyawan dan nasabah untuk meningkatkan kesadaran tentang risiko dan praktik keamanan digital yang baik. Ditambah berkolaborasi dengan penyedia layanan keamanan pihak ketiga untuk mengidentifikasi dan merespons ancaman keamanan dengan cepat dan tepat.
Sementara itu, Tiar menyatakan dalam POJK tersebut, penyelenggara fintech lending juga diharuskan memastikan keamanan sistem informasi dan ketahanan siber demi perlindungan konsumen.
“Oleh karena itu, fintech lending dimungkinkan untuk menganggarkan belanja modal lebih besar untuk membangun dan menjaga infrastruktur keamanan yang memadai, termasuk kebijakan dan prosedur pengelolaan fraud. Dengan meningkatnya ancaman keamanan digital, investasi dalam keamanan menjadi krusial untuk melindungi data nasabah dan menjaga kepercayaan konsumen,” kata Tiar.