Suaraindo.com – Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono menilai bahwa program makan bergizi gratis atau MBG yang mulai dilakukan pada Senin (06/01/2025) kemarin adalah bentuk dari investasi untuk generasi muda.
“MBG ini tidak sekadar memberi makanan bergizi bagi anak, ibu hamil dan menyusui, tapi juga investasi buat generasi muda,” ujar Agus dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Selasa (07/01/2025).
Agus berharap, program makan bergizi gratis dapat mendorong generasi yang hebat dan unggul menyongsong Visi Indonesia Emas Tahun 2045.
Ia mengatakan, melalui makanan yang bergizi, generasi muda Indonesia akan memiliki pikiran yang cerdas dan fisik yang kuat seperti yang diharapkan oleh Presiden Indonesia Prabowo Subianto.
Dengan demikian, para generasi muda itu menjadi aktor penting dalam menyongsong masa depan gemilang sebagai bagian dari Indonesia Emas 2045.
“Kalian harus jadi generasi tangguh dan unggul,” kata dia.
Agus menjelaskan, Program MBG dilaksanakan secara bertahap di 25 provinsi dan dioperasikan oleh 190 satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG) atau setingkat dapur.
Dia menargetkan, program ini disalurkan kepada 3 juta penerima pada hingga akhir Januari 2025.
“Mudah-mudahan di akhir Januari target tiga juta penerima manfaat bisa terpenuhi,” lanjutnya.
Sementara, target pada akhir 2025 sebanyak lima belas juta penerima manfaat, dan di tahun 2029 ditargetkan sebanyak 82,9 juta penerima manfaat.
Agus juga mendorong kolaborasi dari seluruh pihak dalam penyelenggaraan program MBG, agar terlibat aktif dan bergotong royong untuk menyukseskan program MBG.
Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Dedek Prayudi, menjelaskan anggaran untuk Program MBG yang dicanangkan yaitu sebesar Rp 71 triliun.
Dalam pelaksanaannya, Program MBG memiliki tiga standar, yaitu standar kecukupan gizi, standar higienitas terkait food safety, dan standar pengelolaan limbah yang berkelanjutan.
“Tidak ada standar menu, yang ada hanyalah standar gizi yaitu terpenuhinya kebutuhan gizi harian berupa karbohidrat, protein, dan vitamin,” ujarnya.
“Untuk menu bisa disesuaikan dengan kondisi di lapangan, seperti di Papua kebutuhan karbohidratnya berasal dari sagu, dan tadi juga ada anak yang fobia nasi, kita ganti menjadi kentang,” tambah dia.