Suaraindo.com – Sektor properti di China semakin terpuruk dengan penyitaan dan pelelangan ribuan properti. Salah satu kasus yang mencuri perhatian adalah penyitaan 87 apartemen di Distrik Changsha yang dimiliki oleh satu orang, melanggar aturan pembatasan jumlah properti yang boleh dimiliki warga China. Kasus ini menyoroti adanya spekulasi pasar yang menyebabkan harga properti melambung tinggi, membuat properti di kota-kota besar sulit dijangkau oleh masyarakat umum.
Laporan dari The Economist mengungkap bahwa meskipun banyak properti disita, hanya sebagian kecil yang berhasil terjual. Bahkan, penjualan properti yang disita di Changsha tidak laku meskipun sudah didiskon besar-besaran. Kondisi ini menggambarkan krisis di sektor properti China yang semakin dalam.
Peningkatan penyitaan properti di China terus berlanjut. Pada 2023, diperkirakan hampir 800.000 properti disita, meningkat lebih dari 50% dibandingkan tahun 2020. Pemerintah China, yang tidak mempublikasikan data resmi penyitaan, memperkirakan peningkatan lebih lanjut pada 2024. Namun, meskipun penyitaan meningkat, hanya sedikit dari properti yang disita yang berhasil terjual.
Sebagian besar properti yang disita dimiliki oleh perusahaan, bukan rumah tangga. Perusahaan-perusahaan di China kerap berinvestasi dalam properti komersial dan residensial, serta menggunakan properti tersebut sebagai jaminan untuk pinjaman. Namun, tingginya utang membuat banyak perusahaan mengalami kesulitan finansial, mendorong mereka lebih fokus pada pembayaran utang daripada investasi.
Pemerintah China telah berupaya mengatasi krisis ini dengan memberikan perpanjangan pembayaran hipotek bagi warga yang kesulitan, mencegah pengusiran massal seperti yang pernah terjadi di Amerika pada 2007. Meskipun demikian, pejabat China harus tetap waspada terhadap dampak lanjutan dari krisis properti ini, terutama di kalangan perusahaan besar.