Suaraindo.com – Indonesia sering menjadi sasaran kampanye hitam yang menuduh nikel yang dihasilkan negara ini sebagai “dirty nickel.” Tuduhan tersebut mengkritik proses pengelolaan nikel di Indonesia yang dianggap tidak memenuhi standar lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (ESG) yang baik. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengungkap bahwa isu ini muncul di tengah banyaknya perusahaan nikel dunia yang gulung tikar.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto, menyebutkan bahwa total kapasitas produksi nikel dari perusahaan-perusahaan yang tutup tersebut mencapai sekitar 400 ribu ton. “Total kalau tidak salah di seluruh dunia menurut data yang saya miliki ada 400 ribu ton. Setara produksinya ya yang sudah tutup gitu ya. Jadi ya otomatis kan ya kita maklum kalau mereka juga nggak happy,” ujar Seto dikutip dari CNBC Indonesia.
Sebagai langkah untuk membersihkan nama baik Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah melakukan klarifikasi ke beberapa kedutaan besar di berbagai negara. Upaya ini bertujuan untuk menjelaskan keadaan sebenarnya tentang bagaimana hilirisasi nikel dilakukan di Indonesia, termasuk di Uni Eropa, Jepang, Korea, Amerika, dan Australia.
Seto menambahkan, kampanye untuk membersihkan nama Indonesia ini juga melibatkan diskusi dengan dubes-dubes Indonesia di negara-negara strategis tersebut. Hal ini dilakukan untuk memberikan penjelasan tentang kondisi industri nikel dan langkah-langkah yang telah diambil untuk memastikan keberlanjutan praktik pengelolaannya.
Selain itu, pemerintah juga terus mendorong hilirisasi nikel untuk meningkatkan nilai tambah dan memastikan standar ESG tetap terpenuhi. Upaya tersebut bertujuan untuk mendukung posisi Indonesia sebagai produsen utama nikel di dunia dan memitigasi dampak negatif dari tuduhan yang tidak berdasar.
Langkah-langkah ini merupakan bagian dari strategi besar pemerintah untuk membangun citra positif nikel Indonesia dan meningkatkan daya saing di pasar global, terutama di tengah transisi energi dan permintaan akan baterai kendaraan listrik yang semakin meningkat.