Suaraindo.com – Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden (presidential threshold) 20%, Golkar menyatakan dukungannya untuk membahas revisi aturan tersebut melalui pendekatan omnibus law. Langkah ini dinilai sebagai solusi yang lebih efisien dan dapat mencegah konflik aturan di masa depan.
Wakil Ketua DPR Fraksi Golkar, Adies Kadir, menyebutkan bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga semua pihak, termasuk DPR, harus mematuhinya. “Sebagai warga negara yang taat hukum, kita wajib melaksanakan putusan MK ini. Namun, banyak hal yang harus dipertimbangkan dalam implementasinya,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/1/2025).
Omnibus Law untuk Efisiensi dan Harmonisasi
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Ahmad Irawan, menjelaskan bahwa pendekatan omnibus law akan mempermudah proses harmonisasi aturan terkait pemilu. “Jika aturan dibuat terpisah seperti sekarang, banyak norma yang bertentangan sehingga membingungkan penyelenggara pemilu dan pihak lainnya,” katanya.
Ahmad menambahkan bahwa penggunaan omnibus law juga dapat mengurangi redundansi (pengulangan) aturan, mengefisienkan biaya, dan mempercepat proses pembahasannya. “Pendekatan ini memungkinkan kita lebih mudah melakukan harmonisasi pengaturan yang sesuai dengan rancangan sistem pemilu dan pemerintahan ke depan,” jelasnya.
Implikasi Penghapusan PT 20%
Menurut Ahmad, putusan MK tentang penghapusan PT 20% tidak hanya berdampak pada syarat pencalonan presiden, tetapi juga pada berbagai aspek lain dalam sistem pemilu. “Putusan ini memengaruhi syarat kepesertaan pemilu, proses pengajuan pasangan calon, stabilitas pemerintahan, hingga desain putaran kedua pemilu. Semua ini perlu kita kaji secara mendalam untuk menemukan model yang kompatibel dan konstitusional,” katanya.
Rekayasa Konstitusional
Adies Kadir juga menyoroti pentingnya rekayasa konstitusional atau constitutional engineering dalam merancang undang-undang terkait pemilu ke depan. “Calon presiden tetap harus berasal dari partai politik, bukan dari jalur independen. Pengaturan batasan pencalonan juga harus diharmonisasi agar tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit,” jelasnya.
Adies menegaskan bahwa pembahasan aturan kepemiluan melalui sistem omnibus law merupakan opsi yang terbuka. “Semua mungkin terjadi, karena ini menyangkut banyak aspek seperti pemilu legislatif, pilkada, dan pilpres. Keputusan final akan dibahas oleh Komisi II bersama para pemangku kepentingan terkait,” tambahnya.
Dengan dukungan Golkar terhadap omnibus law, diharapkan penyusunan aturan pasca-penghapusan PT 20% dapat menciptakan sistem pemilu yang lebih efisien, harmonis, dan sesuai dengan prinsip demokrasi yang berkualitas.