Suaraindo.com – Dalam upaya membuka akses pendidikan tinggi bagi lebih banyak mahasiswa, pemerintah tengah merancang lembaga pinjaman berbasis crowdfunding. Skema ini diharapkan dapat membantu mahasiswa yang kesulitan membayar biaya kuliah tetapi tidak memenuhi kriteria beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K).
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Brian Yuliarto mengungkapkan bahwa inisiatif ini masih dalam tahap perumusan.
“Kami sedang mencari cara untuk melibatkan masyarakat sebanyak mungkin dalam pendanaan pendidikan tinggi. Nantinya, lembaga ini akan memberikan pinjaman dengan skema yang lebih ringan,” ujar Brian kepada wartawan pada 14 Maret 2025.
Skema Crowdfunding dan Partisipasi Publik
Berbeda dengan model student loan konvensional, skema ini akan mengajak masyarakat untuk berkontribusi secara kolektif dalam membiayai pendidikan mahasiswa. Pemerintah berharap pendekatan ini dapat menjadi solusi bagi mereka yang berada di tengah—tidak cukup miskin untuk mendapatkan KIP-K tetapi juga tidak cukup mampu untuk membayar kuliah secara penuh.
“Kita ingin membangun semangat gotong royong di antara sesama warga negara Indonesia. Dengan crowdfunding, masyarakat bisa turut membantu mahasiswa yang membutuhkan,” tambah Brian.
Dana yang terkumpul akan dipinjamkan kepada mahasiswa yang nantinya diwajibkan mengembalikannya secara bertahap setelah mereka lulus dan mendapatkan pekerjaan.
Pelajaran dari Masa Lalu: Kredit Mahasiswa yang Pernah Gagal
Meski terdengar menjanjikan, pemerintah mengaku masih berhati-hati dalam merancang sistem ini, belajar dari pengalaman Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) di era Orde Baru. Kala itu, banyak mahasiswa yang menunggak pembayaran, bahkan setelah mendapatkan pekerjaan.
“Dulu, ijazah mahasiswa ditahan universitas sampai mereka melunasi pinjaman. Namun, ternyata banyak yang sudah bekerja tetapi tidak mengambil ijazahnya,” kata Brian.
Kegagalan sistem tersebut membuat pemerintah kini mempertimbangkan lebih matang mengenai mekanisme pengembalian dana. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah tingkat pengembalian (return rate), yang berdasarkan pengalaman bisa jauh dari 100 persen.
“Kami masih berdiskusi dengan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), karena kalau menggunakan dana negara, akuntabilitasnya harus jelas. Jika pengembalian tidak optimal, itu bisa menjadi masalah,” jelasnya.
Dorongan Regulasi dan Kekhawatiran
Gagasan student loan berbasis crowdfunding ini bukanlah hal baru. Sejak awal 2024, isu ini telah menjadi perbincangan, terutama setelah viralnya kasus mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang membayar kuliah dengan pinjaman online (pinjol) dari Danacita.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyatakan bahwa LPDP sedang mengkaji kemungkinan pengembangan student loan yang lebih aman dan terstruktur.
Di sisi lain, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendorong lembaga keuangan untuk menyediakan skema pinjaman mahasiswa dengan bunga lebih rendah.
“Kami ingin agar ada skema yang lebih ramah bagi mahasiswa, misalnya pembayaran baru dilakukan setelah mereka bekerja,” ujar Kepala Eksekutif OJK Friderica Widyasari Dewi pada Mei 2024.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan gagasan ini. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi X DPR RI, Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf menegaskan bahwa student loan harus dirancang dengan baik agar tidak berujung pada eksploitasi mahasiswa.
Senada dengan itu, anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira mengingatkan bahwa sistem pinjaman berisiko menjerat mahasiswa dalam utang jangka panjang.
“Kami harus sangat berhati-hati. Jangan sampai pinjaman ini malah membuat mahasiswa terjebak dalam jerat utang yang membebani masa depan mereka,” ujarnya.
Harapan Baru atau Ancaman Lama?
Di tengah pro dan kontra, pemerintah masih terus mengkaji skema terbaik agar pinjaman ini benar-benar menjadi solusi, bukan beban baru bagi mahasiswa.
Nadiem Makarim, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), sempat menegaskan bahwa wacana ini masih dalam tahap pembahasan internal.
“Belum ada detail yang bisa diumumkan, masih dalam kajian,” ungkapnya di hadapan parlemen pada Mei 2024.
Kini, dengan adanya skema crowdfunding, pertanyaannya adalah: apakah ini akan menjadi solusi yang lebih inklusif, atau justru membuka kembali lembaran lama dari kegagalan sistem student loan sebelumnya?