Suaraindo.com – Presiden Rusia Vladimir Putin membuka peluang diskusi mengenai gencatan senjata di Ukraina, namun dengan syarat-syarat tegas yang mencakup pengakuan wilayah yang kini dikuasai Rusia dan penolakan Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Syarat ini mencerminkan posisi kuat Rusia dalam perang yang telah berlangsung sejak Februari 2022.
Menurut lima sumber yang memiliki pengetahuan tentang strategi Kremlin, Rusia bersedia mempertimbangkan kesepakatan untuk membekukan konflik di sepanjang garis depan. Namun, permintaan Ukraina untuk memulihkan wilayah yang hilang, termasuk Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson, menghadapi hambatan besar. Putin menyatakan bahwa setiap perjanjian harus mencerminkan “realitas” di lapangan.
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih disebut sebagai momentum potensial untuk menyelesaikan konflik ini. Trump, yang mengklaim dirinya sebagai “satu-satunya tokoh” yang dapat membawa kedua pihak ke meja perundingan, telah menyatakan niatnya untuk berbicara langsung dengan Putin demi mengakhiri perang. Namun, pendekatan ini menghadapi kritik tajam, terutama karena posisi keras Ukraina yang menolak kompromi atas wilayahnya.
Juru bicara Trump, Steven Cheung, mengatakan, “Dia adalah orang yang dapat menghentikan perang dan mencegah lebih banyak korban jiwa.” Namun, rencana konkret untuk menjembatani kesenjangan besar antara Rusia dan Ukraina belum diumumkan.
Putin menegaskan bahwa Ukraina harus meninggalkan ambisi bergabung dengan NATO, membatasi ukuran militernya, dan memberikan jaminan tidak akan ada pasukan NATO di tanah Ukraina. Selain itu, Kremlin tetap mempertahankan klaim penuh atas Crimea dan sebagian besar wilayah Donbas, yang dinyatakan sebagai “kemenangan” dalam mempertahankan kepentingan Rusia.
“Jika tidak ada netralitas, hubungan baik antara Rusia dan Ukraina tidak dapat terwujud,” ujar Putin dalam sebuah diskusi bulan ini.
Langkah Presiden Joe Biden untuk mengizinkan penggunaan misil jarak jauh ATACMS oleh Ukraina telah memicu ketegangan baru. Pada Selasa lalu, Ukraina menggunakan senjata tersebut untuk menyerang wilayah Rusia, langkah yang dianggap sebagai eskalasi serius oleh Moskow.
“Ini adalah peningkatan yang sangat berbahaya,” kata Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, menanggapi penggunaan misil tersebut.
Putin, yang mengambil keputusan untuk invasi secara mandiri dengan sedikit konsultasi, akan menjadi figur penentu dalam setiap kesepakatan damai. Namun, banyak pengamat internasional skeptis terhadap kemungkinan perdamaian jangka panjang, mengingat perbedaan besar antara posisi kedua belah pihak.
Saat ini, Rusia menguasai sekitar 18 persen wilayah Ukraina, termasuk Crimea, yang dianeksasi pada 2014. Wilayah ini mencakup sebagian besar Donetsk, Luhansk, Zaporizhzhia, dan Kherson. Sementara itu, Ukraina masih berjuang untuk merebut kembali wilayah yang diduduki dan menolak kompromi apa pun yang melibatkan kedaulatan negaranya.
Dimitri Simes, seorang pakar Rusia-Amerika, menyatakan bahwa kesepakatan damai cepat mungkin dilakukan, tetapi mencapai kesepakatan jangka panjang yang memenuhi kepentingan keamanan kedua negara akan sangat sulit.
“Kesepakatan besar akan sangat sulit dicapai karena posisi kedua belah pihak sangat jauh,” ujarnya.
Dengan dunia yang terus memantau situasi, keberhasilan gencatan senjata ini akan menjadi ujian besar bagi Trump, Putin, dan upaya diplomasi internasional. Sementara itu, korban jiwa terus bertambah, dan jutaan warga sipil tetap berada dalam ketidakpastian.