Suaraindo.com – Rupiah kembali mengalami depresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu (22/10/2024), melanjutkan tren negatif yang telah berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Penutupan perdagangan mencatat nilai tukar rupiah berada di level Rp15.615 per dolar AS, merosot 0,39% dibandingkan penutupan sebelumnya.
Kondisi ini dipicu oleh penguatan indeks dolar AS (DXY), yang meningkat 0,22% menjadi 104,305. Sebelumnya, pada Selasa (22/10/2024), indeks ini tercatat di angka 104,075. Selain itu, imbal hasil obligasi US Treasury tenor 10 tahun yang terus meningkat, mencapai level 4,18% sejak akhir Juli turut menjadi faktor penekan rupiah. Hal ini menyebabkan arus dana asing yang masuk ke Indonesia berpotensi kembali ke pasar AS.
Data terbaru dari Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa dalam periode 14-17 Oktober 2024, investor asing menarik dana sebesar Rp1,09 triliun dari pasar keuangan Indonesia, dengan arus keluar terbesar terjadi dari Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp5,31 triliun. Lonjakan indeks dolar dan imbal hasil US Treasury ini berdampak negatif pada rupiah, menciptakan suasana ketidakpastian di pasar.
Sementara itu, pada awal perdagangan Senin (28/10/2024), nilai tukar rupiah melemah akibat ketegangan antara Israel dan Iran. Rupiah tercatat turun 72 poin atau 0,46%, dibuka di level Rp15.719 per dolar AS. Analis mata uang, Lukman Leong, menyatakan bahwa kekhawatiran akan eskalasi konflik di Timur Tengah memicu penguatan dolar AS, yang semakin menekan rupiah.
Lukman memprediksi bahwa nilai tukar rupiah akan berada dalam rentang Rp15.600 hingga Rp15.700 per dolar AS ke depan. Meski tidak ada data ekonomi domestik yang signifikan, dia memperkirakan Bank Indonesia akan melakukan intervensi untuk mendukung penguatan rupiah. BI diharapkan melaksanakan triple intervensi di pasar surat berharga, sekuritas valas, dan sukuk untuk stabilisasi nilai tukar.