Suaraindo.com — Sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), China telah mengucurkan pinjaman bernilai miliaran dolar AS kepada Laos untuk pengembangan infrastruktur energi dan jalur kereta api berkecepatan tinggi. Proyek-proyek besar ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Laos dalam jangka panjang. Salah satu proyek utama adalah pembangunan bendungan hidroelektrik di Sungai Mekong, dengan tujuan menjadikan Laos sebagai “baterai” Asia Tenggara. Namun, hingga kini, proyek-proyek tersebut belum memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan.
Data ekonomi terbaru menunjukkan bahwa Laos menghadapi beban utang yang besar, mencapai 13,8 miliar dolar AS pada akhir 2023, yang mewakili lebih dari 100 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Utang dari China sendiri mencapai setengah dari total utang luar negeri Laos sebesar 10,5 miliar dolar AS.
Zachary Abuza, seorang profesor di National War College, Washington, yang berfokus pada Asia Tenggara, menyatakan bahwa Laos sedang menuju krisis utang.
“Beban utangnya tidak hanya dari China. Laos memiliki utang yang sangat tinggi dan utang tersebut tidak digunakan secara produktif,” ujarnya kepada DW.
Proyek jalur kereta api yang seharusnya meningkatkan konektivitas ke Bangkok, Thailand, juga tidak memberikan manfaat ekonomi yang diharapkan. Hal ini menyebabkan penurunan nilai tukar mata uang Kip sebesar 30 persen pada tahun 2023 dan inflasi yang melonjak, menjadikan inflasi Laos sebagai yang tertinggi kedua di kawasan ini.
Pemerintah China mengklaim telah melakukan yang terbaik untuk membantu Laos mengurangi beban utangnya. Namun, Abuza berpendapat bahwa tanggung jawab atas masalah ekonomi Laos juga harus dipikul oleh pemerintah setempat yang terlalu banyak berutang untuk proyek-proyek yang tidak memberikan pengembalian yang diharapkan. Pinjaman dari China dikenakan bunga 4 persen, yang tergolong tinggi untuk proyek konstruksi, dibandingkan dengan pinjaman dari Jepang dan Bank Dunia yang biasanya di bawah 1 persen.
China selama ini dituduh oleh negara-negara Barat menerapkan “jebakan utang” dengan membiayai proyek-proyek besar di negara berkembang yang akhirnya kesulitan membayar kembali pinjamannya. Namun, Abuza menegaskan bahwa kesalahan terbesar terletak pada pemerintah Laos yang membuat keputusan untuk berutang dalam jumlah besar tanpa pertimbangan yang matang mengenai pengembalian ekonominya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China menyatakan bahwa Beijing umumnya harus mengambil risiko politik dan keamanan yang tinggi untuk proyek-proyek ini. Jika Laos bangkrut, China berisiko kehilangan uang yang disimpan di rekening Bank of China atau aset dalam bentuk pertukaran ekuitas