Suaraindo.com – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah, menyentuh level Rp 16.275/US$ pada perdagangan pagi ini, Kamis (19/12/2024). Pelemahan ini, menurut Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA), David Sumual, disebabkan oleh keputusan terbaru Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), terkait kebijakan suku bunga.
The Fed dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan ini mengisyaratkan hanya akan memangkas suku bunga sebanyak dua kali pada 2025. Jumlah tersebut lebih sedikit dari perkiraan awal yang memproyeksikan empat kali pemangkasan. “Fed memproyeksikan penurunan suku bunga hanya dua kali tahun depan karena kekhawatiran tingginya inflasi akibat kebijakan tarif dari pemerintahan Trump,” ujar David.
David memperkirakan kurs rupiah masih berpotensi melemah hingga level Rp 16.400/US$, dengan peluang penguatan hanya sampai Rp 16.150/US$ dalam jangka pendek. Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, menyebutkan bahwa lonjakan Indeks Dolar AS hingga 108,03 menjadi salah satu pemicu pelemahan ini.
“Pembuat kebijakan hanya memproyeksikan pemangkasan suku bunga 50 basis poin (bps) pada tahun depan, lebih rendah dari 100 bps yang diantisipasi sebelumnya,” ungkap Josua. Kenaikan yield US Treasury 10 tahun menjadi 4,51% turut memberikan tekanan tambahan pada nilai tukar rupiah.
Pasar obligasi rupiah menunjukkan tren variatif, dengan yield obligasi 5 tahun meningkat sementara yield obligasi 10 tahun menurun. Volume perdagangan obligasi pemerintah juga mengalami penurunan menjadi Rp 10,75 triliun pada Rabu, dibandingkan Rp 22,94 triliun pada hari sebelumnya.
Bank Indonesia (BI) telah memastikan komitmennya untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. “BI commit untuk menjaga stabilitas nilai tukar antara lain melalui langkah intervensi secara terukur dan timely,” ujar Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Fitra Jusdiman.
Dengan berbagai indikator yang ada, Josua memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp 16.200 hingga Rp 16.275 pada perdagangan hari ini. Di tengah tantangan global dan ancaman inflasi, pemerintah dan otoritas moneter diharapkan mampu menavigasi situasi ini untuk menjaga stabilitas ekonomi domestik.