Suaraindo.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan RI surplus sebesar US$0,87 miliar pada Februari 2024. Meski masih surplus, angkanya turun sebesar US$1,13 miliar dibanding bulan sebelumnya.
“Dengan demikian neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 46 bulan berturut-turut sejak Mei 2020,” kata Plt. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Jumat (15/3).
Surplus neraca perdagangan Februari 2024 ini lebih ditopang oleh surplus pada komoditas non migas, yaitu sebesar US$2,63 miliar. Adapun komoditas penyumbang surplus utamanya adalah bahan bakar mineral (HS27), lemak dan minyak hewan nabati (HS15), dan juga besi dan baja (HS72).
Namun bebagai pihak, pengamat keuangan dan pengusaha menyatakan target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 sebesar 5,2% masih sangat sulit tercapai. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani meyakini tahun ini, ekonomi Indonesia masih dibayangi oleh ketidakpastian.
“Kenapa temanya pesimis, ketidakpastian? Menurut saya tepat karena tahun ini penuh ketidakpastian. Jadi kita boleh saja prediksi target, kita di rentang 4,8% sampai 5,2%, tapi kenyataannya nobody will know for sure,” katanya dalam Detikcom Leaders Forum bertajuk Memantau Peluang di Tengah Ketidakpastian Ekonomi di Sopo Dell Tower, Jakarta Selatan, Kamis (14/3/2024).
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan pertumbuhan ekonomi di 2024 hanya akan mencapai 4,8%. Angka ini berada di bawah target pemerintah yang sebesar 5,2%.
“Dengan melihat kondisi global dan domestik bukannya pesimis, tetapi realistis untuk pertumbuhan ekonomi pada 2024. Indef memprediksi hanya sekitar 4,8%,” ucap Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti di Jakarta pada Kamis (14/3/2024).
Ester mengatakan dari sisi konsumsi rumah tangga, pada 2024 ini terjadi kekurangan pasokan bahan pangan. Pada saat yang sama, impor juga belum sepenuhnya dan produksi beras belum panen raya. Hal-hal tersebut mendorong peningkatan lonjakan permintaan bahan pangan, khususnya sebelum pemilu. Imbasnya terjadi kenaikan harga, apalagi pasokan berkurang saat permintaan meningkat ditambah ada faktor musiman seperti pemilu, Ramadan, dan Lebaran.
“Jadi ini akan menggerus daya beli konsumen dan membuat konsumsi melambat. Akhirnya karena 53% pertumbuhan ekonomi didorong konsumsi rumah tangga, maka prediksi kami adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi,” ungkap Esther.