Suaraindo.com – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia resmi ditunjuk sebagai Ketua Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 1 Tahun 2025 tentang Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional. Salah satu fokus utama yang didorong oleh Bahlil adalah peran aktif lembaga keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan, dalam pembiayaan program hilirisasi di Indonesia.
“Satgas ini juga diperintahkan lewat Keppres adalah merumuskan, mengidentifikasi, dan merekomendasikan agar pembiayaannya juga bisa dilakukan di pembiayaan perbankan atau non-perbankan atau APBN,” jelas Bahlil dikutip dari cnbcindonesia.com Jumat (10/1/2025).
Arahan ini selaras dengan pesan Presiden RI Prabowo Subianto, yang menekankan pentingnya nilai tambah dari program hilirisasi untuk sepenuhnya menguntungkan negara. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan memanfaatkan pembiayaan dari lembaga keuangan domestik.
“Nah atas dasar itu Pak Presiden lewat Kepres ini memperjelas bahwa hilirisasi ini harus betul-betul dioptimalkan manfaatnya di Indonesia. Salah satu dari antaranya adalah perbankan-perbankan kita, lembaga-lembaga keuangan non-bank harus mau ikut mengambil bagian dalam membiayai proyek investasi hilirisasi,” tambah Bahlil.
Pembiayaan hilirisasi juga dapat memanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), meski penggunaannya akan ditekan seminimal mungkin untuk mengurangi ketergantungan pada dana negara.
“Di dalam Kepres. Contoh, PMN. Kan PMN ada APBN. Kalau kemudian dikasih tanggung jawab itu adalah di BUMN. BUMN, katakanlah, membutuhkan equity yang cukup. Kan harus ada PMN. Tapi itu kan opsinya kecil sekali. Kami dari Satgas berpikir bahwa untuk hilirisasi ini sekecil mungkin untuk kita hindari memakai dana APBN. Sekecil mungkin,” tegasnya.
Menanggapi kemungkinan adanya keringanan bunga dari perbankan, Bahlil menyatakan bahwa hal ini bergantung pada tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) proyek. Jika rata-rata IRR berada di atas 11-12%, intervensi bunga dianggap tidak diperlukan.
“Ini tergantung IRR. Dan IRR dalam hilirisasi kan bagus semua. Rata-rata di atas 11-12 persen. Kalau 11-12 persen IRR-nya, saya pikir nggak perlu ada intervensi bunga. Bagus kok ini,” ujarnya.
Sebagai contoh, Bahlil menyebutkan bahwa fasilitas pemurnian dan pemrosesan (smelter) nikel dengan waktu balik modal (break-even point) 4-5 tahun tidak memerlukan subsidi bunga dari pemerintah.
“Ada smelter nikel itu kan, dulu NPI (Nickel Pig Iron) itu kan 45 tahun break even point. Ngapain pakai intervensi bunga?,” tandasnya.
Langkah-langkah strategis ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mempercepat hilirisasi dengan mengoptimalkan pembiayaan yang bersumber dari sektor swasta dan minimalkan beban APBN.