Suaraindo.com – Tragedi familicide kembali menjadi sorotan setelah dua insiden memilukan terjadi di Kediri dan Tangerang Selatan dalam waktu hampir bersamaan. Pada Sabtu, 14 Desember 2024, sebuah keluarga di Kediri, terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak, diduga mencoba mengakhiri hidup bersama. Dalam insiden tersebut, tiga anggota keluarga—ayah, ibu, dan anak pertama yang berusia lima tahun—berhasil diselamatkan, namun anak kedua yang masih berusia dua tahun meninggal dunia. Penyelidikan awal mengungkapkan bahwa keputusan ini dipicu oleh tekanan ekonomi akibat jeratan utang pinjaman online (pinjol).
Hanya sehari berselang, Minggu, 15 Desember 2024, tragedi serupa terjadi di Cirendeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak berusia tiga tahun ditemukan tewas di kediamannya. Meskipun penyebab pasti masih diselidiki, informasi dari tetangga menyebutkan bahwa sang istri sempat mengungkapkan kesulitan ekonomi yang dialaminya akibat utang pinjol.
Fenomena familicide, atau tindakan seorang anggota keluarga menghilangkan nyawa pasangan dan anak-anaknya, menjadi perhatian serius Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Diyah Puspitarini, anggota KPAI klaster Kekerasan Fisik dan Psikis, menjelaskan bahwa familicide sering kali terjadi akibat hilangnya kendali atas situasi ekonomi, yang memicu rasa putus asa mendalam. “Ketika kepala keluarga merasa gagal menjalankan perannya, tekanan ekonomi, khususnya dari utang pinjol, sering menjadi pemicu utama tragedi ini,” jelas Diyah.
Diyah menambahkan, intimidasi dan penagihan agresif oleh pihak pinjol memperburuk kondisi psikologis kepala keluarga, mendorong mereka pada keputusan ekstrem. “Yang paling menyedihkan adalah anak-anak yang menjadi korban. Mereka tidak memiliki daya untuk melawan dominasi orang tua dalam situasi seperti ini,” katanya.
Menurut KPAI, familicide cenderung meningkat pada akhir dan awal tahun, saat tekanan ekonomi dari tagihan dan utang memuncak. Diyah juga menyoroti kurangnya peran aktif keluarga besar dan lingkungan sekitar dalam mendeteksi tanda-tanda awal masalah seperti isolasi sosial atau tekanan emosional. “Sebagai masyarakat dengan budaya keluarga besar yang kuat, seharusnya peran keluarga besar menjadi solusi, bukan justru absen,” tuturnya.
Diyah mendesak pemerintah, masyarakat, dan keluarga besar untuk lebih peka terhadap tekanan yang dialami keluarga di sekitar mereka. “Intervensi dini melalui deteksi perubahan perilaku dapat mencegah tragedi ini. Semua pihak harus bersama-sama memastikan bahwa keluarga yang menghadapi masalah tidak merasa sendirian dan memiliki akses ke solusi yang manusiawi,” pungkasnya.
Kasus familicide di Kediri dan Tangerang Selatan menjadi pengingat serius akan dampak tekanan ekonomi dan pentingnya membangun kepedulian sosial di masyarakat. Anak-anak, sebagai korban paling rentan, harus dilindungi dari dampak keputusan ekstrem orang dewasa, sekaligus menekankan perlunya perhatian lebih terhadap kesehatan mental dan ekonomi keluarga.