Suaraindo.com – Setelah Presiden Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia, Israel meningkatkan serangan militernya ke Suriah. Dalam beberapa hari terakhir, lebih dari 400 serangan dilaporkan terjadi di berbagai wilayah Suriah, termasuk zona penyangga di Dataran Tinggi Golan, meski mendapat protes dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Serangan ini dianggap sebagai langkah Israel untuk menghancurkan infrastruktur militer Suriah, termasuk fasilitas senjata kimia, gudang amunisi, dan pangkalan militer. Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa’ar, menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk mencegah senjata strategis jatuh ke tangan kelompok ekstremis seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
“Kami menyerang sistem senjata strategis, seperti senjata kimia yang tersisa dan rudal jarak jauh, agar tidak jatuh ke tangan ekstremis,” kata Sa’ar, Kamis (12/12/2024).
Pasukan Israel juga dilaporkan memasuki zona penyangga di Dataran Tinggi Golan, yang telah menjadi zona demiliterisasi sejak 1974. Langkah ini memicu ketegangan tambahan di kawasan yang selama ini sensitif.
Namun, Israel belum memberikan penjelasan jelas mengenai tujuan strategisnya di Suriah. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu hanya menyatakan bahwa tindakan ini dilakukan untuk melindungi kepentingan pertahanan Israel. Di sisi lain, Benny Gantz, pemimpin partai oposisi, mengungkapkan bahwa situasi ini merupakan peluang bagi Israel untuk mempererat hubungan dengan kelompok seperti Druze dan Kurdi di Suriah.
Serangan Israel ke Suriah menambah panjang daftar intervensi militernya di kawasan, setelah sebelumnya menyerang Lebanon dan wilayah Gaza. Meskipun demikian, komunitas internasional masih menunggu tindakan diplomasi yang lebih konkret untuk meredakan konflik yang semakin meluas ini.