Suaraindo.com – Presiden Prabowo Subianto tengah mempertimbangkan pemberian amnesti bagi mereka yang terlibat dalam konflik bersenjata di Papua. Langkah ini diharapkan menjadi salah satu solusi untuk meredam konflik di wilayah yang telah lama bergolak. Namun, para pegiat HAM tetap pesimis terhadap efektivitas langkah ini dalam menciptakan perdamaian yang menyeluruh.
Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan bahwa Presiden Prabowo telah menyetujui ide amnesti ini. “Presiden ingin menyelesaikan masalah Papua dengan pendekatan damai yang mengedepankan hukum dan HAM,” ujar Yusril dalam pertemuan dengan delegasi Parlemen Inggris, Rabu (22/1). Kementerian Hukum juga tengah melakukan pendataan narapidana yang layak menerima amnesti, dengan Menteri Supratman Andi Atgas menyebutkan 18 nama yang sedang dikaji.
Pesimisme Pegiat HAM
Meskipun pemberian amnesti dianggap sebagai langkah maju, beberapa pegiat HAM, seperti Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) Theo Hasegem, meragukan bahwa ini akan menjadi solusi komprehensif. “Konflik Papua tidak bisa diselesaikan hanya dengan amnesti. Harus ada pendekatan menyeluruh yang mencakup aspek politik, ekonomi, dan pelanggaran HAM,” ujar Theo.
Pengalaman masa lalu turut menambah keraguan. Pada 2015, Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada lima tahanan politik yang terlibat dalam serangan ke markas Kodim Wamena pada 2003. Namun, langkah ini dianggap sejumlah pihak, termasuk Andreas Harsono dari Human Rights Watch, sebagai “citra politik” tanpa dampak nyata bagi penyelesaian konflik. Andreas mendesak pemerintah untuk memberikan amnesti, bukan grasi, agar mencerminkan pengakuan atas konflik yang lebih kompleks.
Amnesti, Grasi, dan Abolisi: Apa Bedanya?
Pemberian amnesti, grasi, dan abolisi memiliki perbedaan mendasar. Amnesti menghapus hukuman terhadap sekelompok orang karena alasan politik atau sosial, sementara grasi adalah pengurangan atau penghapusan hukuman bagi individu tertentu berdasarkan pertimbangan kemanusiaan. Abolisi, di sisi lain, menghentikan proses hukum yang sedang berjalan demi kepentingan negara yang lebih besar. Dalam konteks Papua, amnesti dipandang lebih relevan karena mencakup pengampunan kolektif yang bisa membuka jalan rekonsiliasi.
Tantangan Ke Depan
Menurut data Papua Behind Bars, saat ini terdapat 1.354 tahanan politik terkait konflik Papua. Sebagian besar terafiliasi dengan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sementara lainnya terkait Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Dengan jumlah yang besar dan kompleksitas situasi, pemberian amnesti saja tidak cukup untuk meredakan ketegangan.
Para pegiat HAM mendesak pemerintah untuk tidak hanya fokus pada pendekatan hukum, tetapi juga mengatasi akar masalah, seperti ketimpangan ekonomi, kurangnya akses pendidikan, dan pelanggaran HAM. Theo Hasegem mengingatkan, “Perdamaian yang sejati hanya bisa tercapai jika hak-hak dasar rakyat Papua dihormati dan dilindungi.”
Langkah pemberian amnesti oleh Presiden Prabowo dapat menjadi awal dari proses perdamaian, namun hanya akan efektif jika disertai dialog inklusif, penyelesaian pelanggaran HAM, dan upaya pemberdayaan ekonomi. Masyarakat Papua membutuhkan lebih dari sekadar langkah simbolis; mereka membutuhkan keadilan yang nyata dan kesetaraan sebagai bagian dari Indonesia.