Suaraindo.com – Mahkamah Konstitusi (MK) bersiap memulai proses sidang perselisihan hasil Pilkada 2024, yang dijadwalkan berlangsung pada awal Januari 2025. Dengan ditutupnya pendaftaran permohonan sengketa pada 18 Desember 2024, tercatat sebanyak 307 hingga 308 gugatan telah masuk, mencakup hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
Berdasarkan data MK, ada 20 hingga 21 permohonan sengketa pemilihan gubernur, 238 sengketa pemilihan bupati dan wakil bupati, serta 49 sengketa pemilihan wali kota dan wakil wali kota. Ketua MK Suhartoyo memastikan bahwa lembaga peradilan ini tetap menerima permohonan meskipun batas waktu telah berakhir, sesuai prinsip hukum yang melarang penolakan perkara.
“Prinsipnya, pengadilan tidak boleh menolak perkara. Kami tetap memproses, dan hakim akan mempertimbangkan apakah permohonan tersebut memenuhi syarat formal,” kata Suhartoyo.
Hakim Konstitusi sekaligus juru bicara MK, Enny Nurbaningsih, menambahkan bahwa semua perkara akan diregistrasi dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 3 Januari 2025. Tahap berikutnya adalah pembagian perkara kepada panel hakim sebelum sidang pertama dimulai.
Anggota Komisi II DPR RI, Ahmad Irawan, meningkatkan MK untuk berhati-hati dalam memutus perkara sengketa Pilkada. Menurutnya, putusan MK harus menjadi solusi final bagi semua pihak yang bersengketa.
“Saya berharap, putusan MK nanti menjadi akhir dari perselisihan. MK harus cermat agar keputusan yang diambil diterima semua pihak,” ujar Irawan. Ia menambahkan, pengalaman panjang MK dalam menangani sengketa pemilu menjadi modal untuk menyelesaikan perkara ini dengan lebih baik.
Irawan juga mengapresiasi pasangan calon yang tidak mengajukan gugatan, menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk kenegarawanan. “Menerima hasil yang telah ditetapkan menunjukkan sikap ksatria dalam demokrasi,” katanya.
Banyaknya pengajuan sengketa di MK mencerminkan dinamika politik di tingkat daerah. Menurut Irawan, langkah ini merupakan upaya para pasangan calon untuk mencari keadilan atas dugaan pelanggaran atau ketidakpuasan terhadap hasil yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Irawan juga mendorong KPU dan Bawaslu untuk mempersiapkan dokumen dan bukti yang diperlukan selama proses sengketa. Hal ini penting untuk membuktikan bahwa tahapan pemilu telah dilakukan sesuai asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu.