Suaraindo.com – Tawaran pengunduran diri massal yang dikeluarkan oleh Presiden Donald Trump untuk pegawai pemerintah Amerika Serikat (AS) menimbulkan kegemparan. Tidak kurang dari 40.000 pegawai pemerintah, yang sebagian besar merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), mendapatkan tawaran untuk mengundurkan diri secara sukarela dengan jaminan gaji dan pesangon hingga 30 September 2025. Kebijakan ini, yang juga didorong oleh Elon Musk melalui Departemen Efisiensi Pemerintahan (DOGE), merupakan bagian dari upaya untuk memangkas jumlah pegawai federal dan mengurangi pengeluaran pemerintah.
Sebanyak 20.000 hingga 40.000 pegawai, atau lebih dari satu persen dari total PNS di AS, dilaporkan sudah menyetujui pengunduran diri sebelum batas waktu yang ditetapkan pada Kamis (6/2/2025). Bahkan, dalam 24 jam ke depan, Gedung Putih memperkirakan bahwa jumlah tersebut akan terus meningkat. Salah satu langkah pertama yang diambil dalam kebijakan ini adalah Badan Intelijen Pusat (CIA) yang menawarkan pengunduran diri massal kepada stafnya, meski jumlah pegawai CIA yang menerima tawaran tersebut masih belum diketahui.
Namun, kebijakan ini tidak tanpa perlawanan. Serikat pekerja yang mewakili PNS AS, seperti Federasi Pegawai Pemerintah Amerika (AFGE), segera menggugat kebijakan ini. Presiden AFGE, Everett Kelley, dengan tegas menyatakan, “Kami tidak akan tinggal diam dan membiarkan anggota kami menjadi korban penipuan ini.” Bagi banyak PNS, tawaran pengunduran diri massal ini menimbulkan kebingungan dan kecemasan. Beberapa pegawai yang telah bekerja selama lebih dari 20 tahun merasa bahwa tawaran tersebut tidak lebih dari ancaman, dengan pilihan “ambil atau tidak dapat,” di mana mereka khawatir pekerjaan mereka akan hilang begitu saja.
Salah satu pegawai wanita yang berbicara dengan syarat anonim menyatakan, “Tampaknya kejam dan mengerikan,” menggambarkan rasa takut dan ketidakpastian yang muncul di antara pegawai federal. Bahkan bagi mereka yang memilih untuk menerima tawaran pengunduran diri, ada kekhawatiran bahwa pesangon yang dijanjikan tidak akan diberikan sesuai janji. “Saya berharap akan persis seperti yang dijanjikan, dan bukan penipuan,” ungkap salah seorang pegawai yang berencana mengundurkan diri.
Meskipun tawaran pengunduran diri massal ini bertujuan untuk mengurangi biaya pemerintah dan meningkatkan efisiensi, kebijakan ini jelas menimbulkan ketegangan di kalangan para pegawai, yang merasa terpojok oleh keputusan yang tampaknya dibuat secara sepihak tanpa mempertimbangkan kesejahteraan mereka. Seiring berjalannya waktu, akan menarik untuk melihat bagaimana konflik ini berkembang dan apakah tawaran pengunduran diri massal ini akan benar-benar efektif dalam mencapai tujuannya.