Suaraindo.com – Nilai tukar rupiah kembali mendapat sorotan setelah melemah hingga menyentuh Rp16.611 per dolar AS pada penutupan perdagangan Selasa (25/3). Ini menjadi posisi terlemah rupiah sejak krisis moneter 1998. Namun, sejumlah analis menilai bahwa tekanan terhadap rupiah masih dapat diantisipasi, meski ada tantangan musiman yang akan datang.
Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, memperkirakan permintaan dolar AS akan meningkat mulai April hingga Juni 2025. Kenaikan ini bersifat musiman dan berkaitan erat dengan periode pembayaran dividen perusahaan kepada investor asing. “Biasanya, dividen dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dibagikan pada bulan April hingga Juni. Ini mendorong permintaan dolar,” ujar Myrdal, Rabu (26/3).
Selain faktor dividen, permintaan dolar juga cenderung meningkat di pekan keempat setiap bulan. Hal ini sejalan dengan kewajiban perusahaan membayar bunga utang luar negeri serta kebutuhan impor, yang secara rutin meningkatkan permintaan valas.
Meski demikian, Myrdal tetap optimistis kondisi rupiah dapat terjaga. Keyakinan ini didasarkan pada stabilnya indikator makroekonomi, terutama neraca perdagangan yang terus mencatatkan surplus. Pada Februari 2025, surplus perdagangan Indonesia mencapai US$ 3,12 miliar, dengan nilai ekspor sebesar US$ 21,98 miliar dan impor sebesar US$ 18,86 miliar.
Ia juga menilai, potensi arus masuk modal asing tetap terbuka, terutama pada sektor-sektor unggulan seperti hilirisasi, manufaktur makanan dan minuman, serta industri yang terintegrasi dengan program strategis pemerintah seperti Astacita. “Dari sisi investasi asing oleh bank, seharusnya masih ada dana dolar yang masuk,” pungkasnya.
Dengan begitu, meskipun ada tekanan dari sisi permintaan dolar dalam waktu dekat, kondisi fundamental yang sehat diyakini masih mampu menopang kestabilan rupiah.