Suaraindo.com – Pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, menjadi sorotan publik setelah keberadaannya dianggap ilegal oleh Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono. Dengan dugaan bahwa struktur ini adalah bentuk reklamasi terselubung, polemik ini tidak hanya menyentuh isu legalitas tetapi juga menyentuh dampak ekologis dan ekonomi terhadap masyarakat pesisir.
Pagar tersebut disebut-sebut dibangun untuk menahan sedimentasi pasir yang pada akhirnya membentuk daratan baru. Namun, Menteri Trenggono menegaskan bahwa aktivitas ini melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mengharuskan seluruh aktivitas reklamasi memperoleh izin resmi. “Saya sudah melaporkan kasus ini kepada Presiden Prabowo Subianto dan akan mengambil langkah tegas,” ujar Trenggono dalam rapat di Komisi IV DPR RI, Kamis (23/1/2025).
Pagar laut ini disebut-sebut telah memblokir akses ribuan nelayan ke jalur penangkapan ikan, memperburuk kondisi ekonomi mereka yang bergantung pada hasil laut. Ketua Ombudsman RI Perwakilan Banten mencatat kerugian nelayan mencapai Rp9 miliar dalam tiga bulan terakhir akibat meningkatnya biaya operasional. “Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural terhadap masyarakat kecil,” tegasnya.
Selain itu, aktivitas ini dilaporkan merusak ekosistem sekitar, termasuk hutan mangrove dan padang lamun yang berfungsi sebagai habitat biota laut. Menteri Trenggono mengungkapkan bahwa pengerukan pasir di sekitar Pulau Pari, Kepulauan Seribu, juga menunjukkan pola serupa. “Reklamasi seperti ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir,” tambahnya.
Hingga kini, identitas pihak yang membangun pagar laut masih menjadi misteri. Menteri Trenggono menyatakan telah mengantongi sejumlah petunjuk, namun proses investigasi masih berlangsung. “Kami membutuhkan waktu untuk memastikan siapa pihak yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Kecurigaan juga mengarah pada kemungkinan keterlibatan perusahaan swasta yang diduga memiliki kepentingan dalam akumulasi lahan baru hasil reklamasi. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, sebelumnya mengungkapkan adanya sertifikat hak guna bangunan (SHGB) di dasar laut, yang jelas-jelas ilegal. “Ini adalah bukti adanya upaya sistematis untuk menjadikan reklamasi ini sebagai alat komersialisasi ruang laut,” tegas Nusron.
Kasus pagar laut ini menjadi refleksi konflik antara kepentingan modal, masyarakat lokal, dan negara. Dalam teori sosiologi, fenomena ini dikenal sebagai “enclosure” atau perampasan ruang publik untuk kepentingan privat. Pagar laut tidak hanya menjadi penghalang fisik, tetapi juga simbol ketimpangan struktural yang semakin mempersempit ruang hidup masyarakat pesisir.
Di tengah polemik ini, pemerintah pusat didesak untuk segera mengambil tindakan tegas. “Kasus ini menjadi ujian bagi negara untuk menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat kecil,” ujar seorang aktivis lingkungan.