Suaraindo.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menyerukan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dilakukan secara mendalam dan tidak terburu-buru. Pernyataan ini disampaikan menyusul konferensi pers dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan Komisi III DPR RI dengan berbagai organisasi masyarakat dan advokat pada 24 Maret 2025.
Ketua Komisi III sebelumnya menyebut terdapat lima materi “progresif” dalam RUU KUHAP versi 20 Maret 2025, seperti pengaturan CCTV di wilayah terpencil, perlindungan kelompok rentan, pemenuhan hak atas advokat, serta penguatan keadilan restoratif. Namun, Koalisi menilai klaim tersebut tidak sepenuhnya tepat dan menegaskan bahwa draf RUU KUHAP masih menyisakan banyak permasalahan mendasar yang belum menyentuh akar persoalan dalam praktik KUHAP saat ini (UU No. 8 Tahun 1981), terutama terkait akuntabilitas, keadilan, dan perlindungan hak asasi warga negara.
DPR dinilai terlalu tergesa dalam menargetkan pengesahan RUU ini hanya dalam dua masa sidang atau sekitar Oktober–November 2025. Padahal, naskah RUU KUHAP terdiri dari 334 pasal dengan lebih dari 2.000 pasal/ayat dalam daftar inventarisasi masalah (DIM), yang membutuhkan kajian mendalam.
Koalisi menyoroti sembilan isu krusial yang harus menjadi fokus utama dalam pembahasan RUU ini:
1. Penanganan laporan tindak pidana – Perlu jaminan bagi korban untuk mendapat hak mengajukan aduan ke jaksa atau hakim bila laporan diabaikan penyidik.
2. Pengawasan yudisial dan forum pengaduan – Seluruh tindakan paksa harus bisa diuji di pengadilan secara substantif, bukan sekadar administratif.
3. Reformulasi standar prosedur penangkapan dan penyadapan – Tindakan tersebut harus memerlukan izin pengadilan dan disertai mekanisme kontrol dalam waktu 48 jam.
4. Keseimbangan posisi antara negara dan warga negara – Penguatan peran advokat dan perluasan akses bantuan hukum secara menyeluruh.
5. Akuntabilitas investigasi khusus (undercover buy, controlled delivery) – Harus ada pembatasan jenis tindak pidana dan semua proses harus berdasarkan izin pengadilan.
6. Sistem pembuktian yang adil – Menjamin kualitas dan relevansi bukti serta menghindari penyalahgunaan bukti awal untuk tindakan selanjutnya.
7. Pengaturan sidang elektronik – Harus ada batasan jelas agar tidak mengurangi transparansi dan keadilan bagi para pihak.
8. Restorative justice yang akuntabel – Perlu reformasi konsep dan penerapan yang tidak transaksional atau membuka peluang penyalahgunaan.
9. Perlindungan hak tersangka, saksi, dan korban – Termasuk kejelasan prosedur restitusi serta jaminan operasionalisasi hak-hak tersebut dalam praktik.
Koalisi yang terdiri dari 20 organisasi ini mendesak DPR untuk membuka ruang partisipasi publik seluas-luasnya dan tidak terburu-buru dalam membahas RUU yang akan berdampak langsung pada sistem peradilan pidana nasional.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP
1. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
3. Institut Reformasi Peradilan Pidana (ICJR)
4. PBHI Nasional
5. KontraS
6. AJI Indonesia
7. AJI Jakarta
8. Aksi Keadilan
9. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
10. Koalisi Reformasi Kepolisian
11. Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
12. LBH Masyarakat
13. Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet)
14. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
15. Tidak memihak
16. Perhimpunan Jiwa Sehat
17. LBH APIK Jakarta
18. Themis Indonesia
19. Jaringan PIL
20. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)