Suaraindo.com – Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, secara tegas menyebut Korea Selatan sebagai “negara asing dan musuh yang nyata,” seraya memperingatkan bahwa kekuatan fisik akan digunakan jika kedaulatan Korea Utara dilanggar. Pernyataan ini disampaikan oleh Kim saat inspeksi di markas Korps ke-2 Tentara Rakyat Korea pada hari Kamis, di tengah ketegangan yang semakin meningkat antara kedua negara.
Kim menegaskan bahwa keputusan untuk memblokir jalan dan rel kereta api yang menghubungkan kedua Korea bukan sekadar tindakan fisik, melainkan simbol dari berakhirnya hubungan yang disebutnya “jahat” dengan Seoul. Tindakan ini juga dipandang sebagai penolakan total terhadap gagasan reunifikasi yang selama ini dianggap tidak masuk akal.
Langkah Korea Utara ini tidak lepas dari perubahan dalam kebijakan konstitusi negara tersebut, yang kabarnya kini secara resmi mengklasifikasikan Korea Selatan sebagai negara musuh. Hal ini mencerminkan kebijakan baru Kim yang secara tegas menjauh dari tujuan reunifikasi, seiring dengan meningkatnya ketegangan dalam aliansi militer antara Korea Selatan dan Amerika Serikat yang dianggap semakin agresif oleh Pyongyang.
Pernyataan Kim disampaikan hanya beberapa hari setelah Korea Utara meledakkan jalan dan rel yang sebelumnya menjadi simbol rekonsiliasi antar-Korea, sebuah langkah yang dianggap sebagai penegasan sikap bermusuhan yang lebih nyata terhadap Seoul. Dalam inspeksi tersebut, Kim juga menekankan pentingnya memperkuat kesiapan tempur, termasuk mempertahankan kesiapan nuklir yang terus meningkat sebagai penangkal utama.
Foto yang dirilis oleh media resmi Korea Utara, KCNA, menunjukkan Kim menunjuk ke peta besar di atas meja, dengan sebagian besar peta dikaburkan kecuali area yang mengindikasikan Seoul. Hal ini memicu spekulasi bahwa Korps ke-2 Tentara Rakyat Korea mungkin telah merumuskan rencana serangan terhadap ibu kota Korea Selatan. Di latar belakang, tampak layar besar yang menampilkan peta Semenanjung Korea, dengan garis biru tebal yang menunjukkan lokasi dekat Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan kedua negara.
Kim didampingi oleh Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Partai Pekerja Korea, Pak Jong-chon, dan Menteri Pertahanan Rakyat DPRK, No Kwang-chol. Langkah Korea Utara ini semakin memperlihatkan eskalasi militer di kawasan yang sudah tegang, dengan ancaman penggunaan kekuatan fisik sebagai respons atas apa yang dianggapnya sebagai pelanggaran kedaulatan oleh Korea Selatan.
Sikap tegas Korea Utara dalam merombak konstitusinya dan memperkuat pertahanan militer, termasuk kesiapan nuklir, menunjukkan bahwa ketegangan antar-Korea telah memasuki fase baru. Hal ini sekaligus mempertegas bahwa tujuan rekonsiliasi atau reunifikasi tidak lagi menjadi prioritas bagi Pyongyang, melainkan mempertahankan kedaulatan dengan segala cara, termasuk penggunaan kekuatan militer jika diperlukan.