Suaraindo.com – Indonesia telah mengalami deflasi selama empat bulan terakhir, mulai dari Mei 2024 sebesar 0,03% secara bulanan (month to month/mtm), hingga Agustus 2024 yang kembali berada di level 0,03%. Tren deflasi ini juga terlihat di negara-negara dengan kapasitas ekonomi besar seperti China dan Amerika Serikat.
Menurut catatan Tim Ekonom BCA dalam Monthly Economic Briefing September 2024, inflasi yang rendah dan penurunan permintaan konsumen terjadi secara global, termasuk di Tiongkok dan AS. Di China, kelebihan pasokan di pasar dunia telah menekan harga produsen, yang mempengaruhi indeks harga impor Indonesia. Sementara di AS, inflasi yang rendah memicu ekspektasi pemotongan suku bunga, yang memperkuat nilai rupiah dan menekan inflasi impor.
Melemahnya permintaan global juga tercermin dari data Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur yang berada di zona kontraksi atau di bawah 50 di banyak negara, termasuk Indonesia. “Data PMI yang diterbitkan kemarin mengonfirmasi gambaran suram di negara-negara seperti Tiongkok, AS, Zona Eropa, dan Jepang, yang berada di bawah 50. PMI Manufaktur di Indonesia juga di zona negatif,” tulis Ekonom Senior BCA Barra Kukuh Mamia dan Ekonom BCA Nicholas Husni dalam analisis mereka.
Di Indonesia, deflasi pada Agustus 2024 sebesar 0,03% dipicu oleh penurunan harga pangan bergejolak, seperti bawang merah dan ayam, sementara harga barang-barang yang diatur pemerintah, seperti BBM non-subsidi, justru mengalami kenaikan. Komponen inflasi inti meningkat ke level 0,20% mtm, didorong oleh kenaikan biaya pendidikan dan barang-barang keperluan pribadi.
Jika kenaikan harga pada komponen inflasi inti ini dikecualikan, tim ekonom BCA memperkirakan inflasi keseluruhan tahun hanya akan menyentuh level 1,7% YoY, dibandingkan dengan realisasi inflasi Agustus 2024 yang sebesar 2,12% YoY.
Namun, tim ekonom BCA juga menekankan bahwa deflasi yang terjadi beberapa bulan terakhir ini mencerminkan daya beli masyarakat yang tertekan, sebagaimana terlihat dari data indeks pengeluaran konsumen BCA yang mengalami kontraksi selama Juli-Agustus 2024.
“Kurangnya katalis pertumbuhan dan inflasi yang terus rendah membuat pelonggaran moneter semakin mungkin, namun Bank Indonesia mungkin memprioritaskan pelepasan SRBI dan menunda pemotongan suku bunga awal hingga kuartal IV,” kata Barra dan Nicholas dalam catatan mereka.