Suaraindo.com – Pemerintah tengah menggencarkan proyek food estate sebagai strategi jangka panjang dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Food Estate Merauke, yang disebut sebagai program andalan Presiden Prabowo Subianto. Namun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Zulkifli Hasan menyatakan bahwa proyek ini masih memerlukan waktu setidaknya tujuh tahun sebelum benar-benar dapat dimanfaatkan secara optimal.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah menargetkan tambahan produksi pangan sebesar 20 juta ton gabah kering giling, yang setara dengan 10 juta ton beras. Hal ini membutuhkan ekspansi luas panen hingga 4 juta hektare atau setara dengan total luas sawah yang ada saat ini.
Komitmen tersebut ditegaskan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025, yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 10 Februari 2025. Perpres ini menggarisbawahi pentingnya food estate dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan nasional di tengah ancaman krisis iklim dan penurunan kapasitas lahan produktif.
Proyek ini dikawal langsung oleh Kementerian Pertanian dengan dukungan berbagai lembaga, termasuk BUMN, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), BMKG, serta BPS.
Tiga wilayah utama yang menjadi fokus pembangunan food estate adalah:
* Kalimantan Tengah
* Sumatera Selatan
* Papua Selatan, dengan Merauke sebagai proyek unggulan
Selain itu, terdapat wilayah prioritas lain seperti Aceh, Jambi, Riau, Bangka Belitung, Lampung, dan beberapa provinsi di Kalimantan serta Jawa Barat.
Namun, pengembangan food estate di Merauke bukan tanpa tantangan. Beberapa kendala utama yang dihadapi mencakup:
* Minimnya infrastruktur pendukung, termasuk jaringan irigasi dan jalan usaha tani
* Kondisi lahan yang masih perlu penyesuaian ekologis sebelum siap tanam
* Belum tersedianya kajian Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) secara menyeluruh
Bahkan, proyek serupa di era Presiden Jokowi sempat dikritik karena kurangnya efektivitas dalam meningkatkan produksi pangan secara signifikan.