Suaraindo.com – Penangkapan buron megakorupsi proyek e-KTP, Paulus Tannos, di Singapura membuka lembar baru perjalanan panjang kasus yang telah merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Kini, semua mata tertuju pada langkah pemerintah Indonesia untuk mengekstradisi Tannos dan memastikan ia mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fitroh Rohcahyanto, mengonfirmasi penangkapan ini dilakukan atas permintaan provisional arrest oleh pihak Indonesia. Namun, proses pemulangan tidak sesederhana kelihatannya. Paulus Tannos, yang diduga telah berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura, sempat menjadi tantangan bagi KPK dalam upaya sebelumnya untuk menangkapnya.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Hukum untuk melengkapi seluruh dokumen yang diperlukan agar proses ekstradisi dapat berjalan lancar,” ujar Fitroh pada Jumat (24/1/2025).
Tannos diketahui telah lama masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 2019, setelah ia ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga tokoh lain, termasuk mantan anggota DPR Miriam S. Hariyani. Korupsi proyek e-KTP, yang total anggarannya mencapai Rp5,9 triliun, tidak hanya merugikan negara secara finansial tetapi juga mencoreng kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, pihaknya telah memerintahkan Direktorat Otoritas Pusat dan Hukum Internasional (OPHI) di bawah Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) untuk mempercepat persiapan ekstradisi. “Kami memiliki kewenangan sebagai otoritas pusat untuk memproses permintaan ekstradisi ini,” ujarnya.
Namun, Supratman mengingatkan bahwa hubungan diplomatik dengan Singapura menjadi salah satu elemen kunci dalam keberhasilan proses ini. Pasalnya, Tannos telah lama memanfaatkan celah hukum lintas negara, termasuk kabar yang menyebutkan ia pernah berganti nama dan identitas di Afrika Selatan.
Penangkapan Paulus Tannos di Singapura memberikan momentum bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmen dalam memerangi korupsi lintas negara. Namun, tantangan yang dihadapi tidak hanya sebatas aspek hukum, tetapi juga pada penguatan kerja sama internasional. Dalam hal ini, Mutual Legal Assistance (MLA) menjadi instrumen vital untuk memastikan pelaku korupsi tidak lolos begitu saja dari jeratan hukum.
Selain itu, penangkapan ini menjadi pengingat akan sistemik dan masifnya korupsi yang terjadi dalam proyek e-KTP. Berdasarkan laporan KPK, setidaknya Rp2,5 triliun dari anggaran proyek dialokasikan untuk membayar fee kepada sejumlah pejabat, termasuk anggota DPR dan petinggi Kementerian Dalam Negeri. Modus ini melibatkan berbagai pihak, dari konsorsium pengadaan hingga tokoh politik nasional.
Publik kini menantikan langkah cepat dari pemerintah untuk membawa Tanos kembali ke Indonesia. Ketua KPK, Setyo Budiyanto, optimis bahwa ekstradisi akan berjalan lancar meski ada berbagai kendala administratif. “Kami berharap proses ini menjadi preseden baik untuk kasus-kasus serupa di masa depan,” katanya.
Namun, harapan tersebut juga disertai dengan skeptisisme. Banyak pihak mempertanyakan mengapa butuh waktu bertahun-tahun untuk menangkap buronan yang telah lama diketahui keberadaannya. Kasus ini sekaligus menjadi pengingat bahwa upaya pemberantasan korupsi memerlukan sinergi yang kuat antara penegak hukum dan pemerintah.
Penangkapan Paulus Tannos bukan hanya tentang satu individu, melainkan tentang bagaimana Indonesia menegakkan hukum secara adil dan transparan. Dalam konteks ini, proses ekstradisi menjadi lebih dari sekadar prosedur administratif—ini adalah ujian integritas bangsa di hadapan dunia internasional.