Suaraindo.com – Sejumlah akademisi dan pegiat hukum mendorong DPR, khususnya Komisi III, untuk mendahulukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dibandingkan RUU Kepolisian (RUU Polri).
Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, menilai urgensi pembaruan KUHAP lebih besar mengingat usianya yang sudah lama dan belum mengalami revisi signifikan. Ia menyebut, substansi RUU Polri sebaiknya mengacu pada KUHAP yang lebih dahulu dibahas. “Agar RUU Polri dapat disesuaikan dengan pengaturan dalam KUHAP,” ujar Yance pada Jumat, 28 Maret 2025.
Yance juga menekankan bahwa proses revisi KUHAP harus melibatkan partisipasi publik secara luas serta meninjau ulang sejumlah pasal yang dianggap bermasalah, termasuk soal kewenangan Polri yang dinilai terlalu luas. Ia menyatakan, “Jika KUHAP memberikan ruang keleluasaan, maka RUU Polri bisa lebih longgar lagi. Ini perlu dievaluasi.”
Senada dengan Yance, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK), Bugivia Maharani, menyatakan bahwa penyelesaian RUU KUHAP sebaiknya dilakukan terlebih dahulu agar tidak terjadi penumpukan atau tumpang tindih kewenangan dalam RUU Polri. “KUHAP akan menjadi dasar prosedural dalam penanganan perkara oleh kepolisian,” kata Bugivia.
DPR sendiri telah menerima Surat Presiden (Surpres) untuk membahas RUU KUHAP pada 25 Maret 2025. Ketua DPR Puan Maharani membenarkan hal tersebut, meskipun belum memastikan alat kelengkapan dewan (AKD) yang akan ditugaskan.
RUU KUHAP telah menjadi inisiatif DPR dalam rapat paripurna dan masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 atas usulan Komisi III. Ketua Komisi Hukum DPR, Habiburokhman, menyatakan pembahasan RUU KUHAP mendesak untuk menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan agar selaras dengan implementasi KUHP yang mulai berlaku pada Januari 2025. Ia menegaskan Komisi III akan menjadi AKD yang menangani pembahasan tersebut setelah berkoordinasi dengan pimpinan DPR.