Suaraindo.com – Polusi udara yang kian memburuk kembali memaksa lebih dari 350 sekolah di Bangkok tutup. Keputusan ini diambil setelah indeks kualitas udara (AQI) mencapai tingkat berbahaya, mencatat angka 185 pada Jumat pagi (24/1). Dengan kondisi ini, Bangkok menempati peringkat ketujuh kota paling tercemar di dunia, menurut laporan IQAir.
Keputusan untuk meliburkan sekolah bukanlah hal baru bagi Bangkok. Terakhir kali penutupan massal dilakukan pada tahun 2020. Namun, tahun ini, jumlah sekolah yang terkena dampak mencapai angka tertinggi, yakni 352 dari total 437 sekolah di bawah Otoritas Metropolitan Bangkok (BMA). Langkah ini berdampak pada ribuan siswa yang kini harus belajar di rumah di tengah ancaman kesehatan akibat paparan polusi.
Kondisi ini dipicu oleh musim dingin yang membawa udara stagnan, diperparah dengan asap pembakaran tunggul tanaman dan emisi kendaraan. Menurut data, konsentrasi PM2.5 di Bangkok mencapai 108 mikrogram per meter kubik—21 kali lipat lebih tinggi dari batas aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). PM2.5 adalah partikel mikroskopis yang dapat menyebabkan kanker dan penyakit pernapasan serius.
Gubernur Bangkok, Chadchart Sittipunt, menjelaskan bahwa larangan kendaraan berat dan pembakaran tanaman telah diberlakukan. Namun, efektivitasnya dipertanyakan karena hanya 100.000 dari total 10 juta penduduk yang berpartisipasi dalam skema kerja dari rumah.
Masalah polusi udara ini bukan hanya tantangan bagi Bangkok, tetapi juga kota-kota besar di kawasan Asia Tenggara. Ho Chi Minh City dan Phnom Penh juga mencatat angka polusi yang sangat tinggi, masing-masing menempati peringkat kedua dan kelima dalam daftar IQAir.
Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menyerukan kerja sama regional untuk mengatasi masalah ini. “Polusi udara tidak mengenal batas. Kita perlu langkah kolektif dengan negara-negara tetangga untuk menangani emisi lintas batas,” ujar Shinawatra dalam forum internasional.
Sementara itu, UNICEF Thailand menyoroti dampak polusi terhadap pendidikan anak-anak. Wakil perwakilan organisasi itu, Severine Leonardi, mendesak pemerintah untuk berinvestasi dalam pendidikan sekaligus melindungi generasi muda dari paparan udara berbahaya.
Selain ancaman kesehatan, polusi ini diprediksi akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Pusat Riset Kasikorn memperkirakan kerugian ekonomi mencapai 6 miliar baht (sekitar Rp2,6 triliun) jika kondisi ini berlangsung selama satu bulan penuh. Aktivitas bisnis terganggu, sementara sektor pariwisata Bangkok, yang biasanya ramai, mulai merasakan penurunan tajam.
Meski pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan mitigasi, banyak pihak menilai langkah-langkah tersebut belum cukup. Seruan untuk transisi menuju energi bersih dan peningkatan pengelolaan limbah semakin lantang digaungkan oleh para aktivis lingkungan. Namun, dengan akar masalah yang bersifat struktural dan melibatkan banyak kepentingan, solusi jangka panjang tampaknya masih jauh dari harapan.